✕
Opini

BANGUNLAH NEGERIKU sejahterakan rakyatmu

Redaksi
dok,azhari lubis alabaspos.com
Prof.Dr.Ir Abu Bakar Karim.MSi
Dan dari tanah yang baik dihasilkan tetanaman yang baik pula dengan izin Allah,
dan dari tanah yang tidak baik tidak demikian, kecuali kerdil.  Demikian Kami (Allah) menerangkan ayat-ayat bagi kaum yang bersyukur (QS Al-A’raaf : 58)



Empat kabupaten bagian tengah Aceh mempunyai keterkaitan yang sangat erat, baik keterkaitan bidang pemerintahan, budaya, etnis maupun geografis.  Keterkaitan bidang Pemerintahan, Aceh Tenggara mekar dari kabupaten induknya Aceh Tengah pada tahun 1974, Kabupaten Gayo Lues mekar dari kabupaten induknya Aceh Tenggara pada tahun 2002, dan terakhir Bener Meriah mekar dari kabupaten induknya Aceh Tengah pada tahun 2003.  Keterkaitan di ranah etnis, keempat kabupaten ini dikenal didominasi suku asli Gayo dan Alas.  Suku Gayo mendominasi Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan sebagian Aceh Tenggara.  Suku Alas mendiami dataran medium dan rendah Aceh Tenggara.  Dengan demikian, keempat kabupaten ini relatif mempunyai Bahasa dan budaya yang hampir sama, baik di bidang kesenian maupun adat dan budaya.  Tarian saman sebagai warisan dunia tak benda, sudah teramat biasa dimainkan oleh pemuda-pemuda di keempat kabupaten ini.  Keterkaitan geografis keempat kabupaten ini berada di bagian tengah Aceh, di punggung Bukit Barisan di sepanjang warisan dunia raksasa hutan Leuser, pada ketinggian tempat 200-an hingga 3000-an meter di atas permukaan laut, sehingga negeri ini relatif terisolasi dan terperangkap dengan kondisi geografis yang menyulitkan tersebut, terperangkap dengan hawa mulai dari panas hingga dingin dan terperangkap di tengah hutan yang dibanggakan dunia.

Perangkap geografis ini sepertinya mempunyai hubungan dengan indikator pembangunan yang masih rendah, seperti rendahnya indek pembangunan manusia dan masih tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Gayo Lues dan Bener Meriah, walaupun relatif lebih baik di kedua kabupaten induknya, Aceh Tengah dan Aceh Tenggara.  Kondisi ini diyakini terkait dengan sudah seniornya kedua kabupaten terakhir ini dibandingkan dengan kedua kabupaten yang dimekarkan kemudian.  Lalu bagaimana seharusnya strategi yang harus diterapkan keempat kabupaten ini agar keluar dari keterisoliran dan meningkatkan kinerja pembangunan?.

Marthunis (2013) mengilustrasikan, Kabupaten Gayo Lues, secara metafora, jika masyarakat kabupaten tersebut ingin keluar dari kawah keterisolirannya, terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan, yaitu “menjadi ulat yang merayap melalui lereng dan dinding perbukitan yang terjal” atau “menjadi katak yang melompat tinggi melewati dinding bukit tersebut”.  Lebih lanjut disebutkan, dari sisi efektifitas dan efesiensi, kiranya melompat adalah cara yang lebih cepat dan mudah ketimbang merayap melalui perbukitan karena longsoran dinding bukit kerap menjadi batu sandungan yang dapat menunda negeri ini untuk melewati dinding keterisoliran.  Namun untuk dapat melompat tinggi perlu persiapan yang lebih matang dan kuat terutama mempersiapkan fondasi dan kuda-kuda agar lompatan tidak menabrak dinding bukit yang terjal tersebut.
Pilihan Strategi

Bila diamati dari sejarah pembangunan negara-negara sudah maju dan tua seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, maka keempat kabupaten ini tidak mungkin melakukan pembangunan hanya secara empiris dan normal-normal saja.  Proses pembangunan menuju kesejahteraan harus dilakukan dengan tidak mengikuti tahapan pembangunan secara normal.  Pilihan pembangunan sesuai potensi dan kendala yang dihadapi daerah harus benar-benar dilakukan, seperti strategi pembangunan Israel dan Singapura ketika kedua negara tersebut baru saja terbentuk. Apalagi hambatan tersebut bukanlah hambatan poilitik (political barrier) tetapi hambatan geografis (geoghrafics barrier). 

Salah satu yang membuat pilihan strategis optimis keempat kabupaten ini adalah tersedianya potensi lahan untuk mengembangkan komoditas yang relatif tidak ditentukan waktu dalam pemasarannya, sehingga kendala transportasi (fisik - geografis) relatif dapat dikendalikan.  Strategi yang dikembangkan adalah pilihan komoditas yang tidak dibutuhkan harus segera tiba di pasar, karena ada anacaman busuk dan turunnya harga.  Dan komoditas tersebut berpotensi dikembangkan di keempat kabupaten ini secara berbeda-beda.  Selain itu strategi pilihan faktor pendukung juga sangat berpotensi dikembangkan, apalagi keempat kabupaten ini berada di hulu sungai-sungai besar yang bermuara ke pantai Timur dan Barat Aceh.

Keempat kabupaten ini berpotensi untuk melakukan lompatan ekonomi dengan kemandirian energi yang ramah lingkungan.  Sebagai contoh, di berbagai kesempatan, Bupati Ibnu Hasyim menyatakan tahun 2016 sebagai tahun mandiri energi bagi Kabupaten Gayo Lues, dimana seluruh pelosok Kabupaten Gayo Lues akan teraliri listrik dengan kemampuan sendiri melalui pembangunan pembangkit energi listrik terbarukan, yaitu pembangkit listrik tenaga mikro hidro.  Kemandirian ini merupakan sebuah lompatan dari tahapan proses pembangunan konvensional dimana pembangunan pada awalnya akan berjalan seiring dengan kerusakan lingkungan hingga pada satu titik balik ketika peningkatan tingkat pendapatan masyarakat berjalan seiring dengan perbaikan kualitas lingkungan.  Secara konvensional, daerah atau negara yang baru berkembang cenderung memperoleh energi dari sumber-sumber yang tidak ramah lingkungan seperti batu bara dan bahan bakar fosil lainnya.  Jika KabupatenGayo Lues berhasil menyediakan energi secara mandiri melalui teknologi yang ramah lingkungan, bisa dikatakan bahwa kabupaten ini telah melakukan lompatan pembangunan di bidang energi.  Kondisi itu sangat berpeluang dikembangkan di ketiga kebupaten lainnya, karena potensinya sangat besar.  Sebagai contoh Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan Krueng Peusangan, Bener Meriah ditambah dengan Wih Bidin, Aceh Tenggara dengan Lawe Alas dan Lawe Mamas yang kesemuanya dapat membangkitkan listrik cukup besar.  Bahkan Aceh Tengah telah memulai membangun Pembangkit Listrik Tenga Air (PLTA) Peusangan 1 dan Peusangan 2.


Pilihan Komoditas

Hasil studi analisis kamparatif komoditas unggulan Aceh yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Aceh pada tahun 2012 - 2014, dan ditambah hasil-hasil studi secara parsial yang pernah dilakukan menunjukkan, peluang komoditas seperti Kopi Arabika hanya berpotensi di kembangkan di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues, serta sedikit di Pidie.  Komoditas Jagung sangat berpotensi dikembangkan di Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Utara, dll.  Komoditas Sere Wangi dan Nilam berpotensi dikembangkan di Gayo Lues, Aceh Barat  Daya, Aceh Tengah, dll.  Kakao berpotensi dekembangkan di Aceh Tenggara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Utara, Gayo Lues, dll.  Pilihan komoditas tersebut, hasilnya relatif tidak dibutuhkan harus segera tiba di pasar karena kekawatiran hasilnya busuk.


1. Kopi Arabika

Harus dikakui, komoditas kopi Arabika saat ini telah mendunia, bila tidak berlebihan dapat disebutkan “dari Gayo untuk dunia”.  Luas lahan potensial untuk kopi Arabika di ketiga kabupaten dari empat kabupaten tersebut (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues) dapat mencapai 130.000 – 140.000 ha, sedangkan luas tanam saat ini telah mencapai sekitar 100.000 ha.  Masih ada peluang pengembangan lebih kurang sekitar 40.000 ha lagi di ketiga kabupaten tersebut.  Hal lain yang amat sangat menarik, dari sekitar 100.000 ha luas tanam yang sudah ada, semua kebun kopi rakyat.  Kondisi ini sangat menguntungkan rakyat dalam kondisi menghadapi berbagai krisis yang dihadapi.  Pilihan bentuk produksi yang dipasarkan, menurut hemat kami biarkan pasar yang memilih dan petani siap menyediakan kebutuhan pasar.  Bentuk produksi; gabah, biji kering, bubuk, dan siap dinikmati sepenuhnya disesuaikan permintaan pasar.  Inovasi dan kreataifitas Café (baca : warung kopi) pada tempat-tempat yang strategis dengan suasana nyaman merupakan suatu keharusan.  Pilihan permintaan konsumenpun semakin bervariasi.  Jarak dari kota sampai batas-batas tertentu sepertinya sudah bukan pembatas lagi.  Kreativitas pilihan dengan menghadirkan gula aren, gula semut, susu kerbau atau susu sapi sebagai penyedap kopi bagi peminum pemula seharusnya sudah dapat disediakan bagi pemasar kopi di warung.


2. Jagung

Provinsi Aceh dikenal sebagai salah satu produsen jagung, dan kabupaten produsen terbesar di Aceh adalah Aceh Tenggara, dan belakangan mulai muncul Gayo Lues sebagai kabupaten tetangga Aceh Tenggara.  Luas tanam Jagung di Aceh Tenggara dan Gayo Lues saat ini per musim tanam tidak kurang dari 45.000 ha.  Bila satu hektar dihasilkan sekitar 8 ton saja jagung pipilan kering, maka tidak kurang dari 360.000 ton per musim tanam atau dapat mencapai tidak kurang dari 700.000 ton per tahun, bila satu tahun ditanam dua kali saja.  Lalu kemana jagung ini dipasarkan selama ini.  Pilihan diolah sendiri untuk menghasilkan nilai tambah sudah merupakan sauatu keharusan, oleh karenanya sudah saatnya investasi pabrik pakan ternak.  Bila tidak ada pihak swasta yang berinvestasi di pabrik pakan ternak ini, sudah saatnya pemerintah daerah sedikit berani berinvestasi untuk pabrik pakan ternak ini. 


3. Sere Wangi dan Nilam

Selama ini Kabupaten Gayo Lues dikenal dikenal sebagai kabupaten penghasil minyak atsiri, yaitu minyak sere wangi dan nilam.  Belakangan minyak sere wangi juga diproduksi di Kecamatan Celala, Aceh Tengah.  Sudah tidak dapat dipungkiri minyak nilam Gayo Lues merupakan minyak nilam dengan kualitas terbaik di dunia.  Namun demikian, kendala yang dihadapi belum optimal pada saat penyulingan dan kebutuhan kayu bakar saat penyulingan.   Tidak kurang 50.000 – 65.000 ha lahan berpotensi dikembangkan tanaman sere wangi dan sekitar 25.000 ha berpeluang dikembangkan tanaman nilam.
4. Kakao

Aceh Tenggara merupakan kabupaten penghasil kakao terbesar di Provisni Aceh, tidak kurang dari 30.000 – 35.000 ha lahan yang berpotensi ditanam tanaman kakao.  Selain Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues dan Bener Meriah juga berpotensi di kembangkan tanaman kakao, walaupun tidak seluas di Kabuaten Aceh Tenggara.  Wilayah Kabupaten Gayo Lues yang berpotensi dikembangkan tanaman kakao di Kecamatan Terangun, Tripe Jaya, Pining dan Putri Beutung, sedangkan di Kabupaten Bener Meriah sesuai dikembangkan tanaman kakao di Kecamatan Timang Gajah, Gajah Putih, Pintu Rime Gayo, dan Syiah Utama.  Oleh karena itu sudah seharusnya tidak lagi memasarkan kakao dalam bentuk biji, paling tidak sudah bisa dipasarkan dalam bentuk bubuk kakao.  Oleh karena itu sudah saatnya dikembangkan mesin-mesin pengolah biji kakao untuk memproduksi tepung kakao.


5. Kentang

Aceh Tengah dan Bener Meriah dikenal sebagai sentra tanaman hortikultura, seperti Kentang, Jeruk Keprok, Alpukat, dll.  Pengembangan tanaman hortikultura di kedua kabupaten ini sudah tidak diragukan lagi potensinya, sehingga selalu bersaing dengan tanaman kopi Arabika.  Namun untuk memproduksi tanaman hortikultura diperlukan dukungan transportasi yang memadai karena produk tersebut harus segara dapat tiba di pasar dengan harga yang menjanjikan.


6. Ternak

Sejak lama Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues sudah dikenal sebagai kabupaten penghasil ternak besar seperti kerbau.  Masih tersisa sampai sekarang wilayah pengembalaan ternak kerbau di Uber-Uber, Bener Meriah, Lane dan Keutapang di Kabupaten Aceh Tengah, dan Kecamatan Terangun, Blangjerango, dan Rikit Gaib di Gayo Lues.  Bahkan untuk saat ini oleh Kabupaten Aceh Tengah telah mengembangkan kawasan Keutapang sebagai transmigrasi lokal berbasis pengembalaan ternak.

Komoditas-komoditas yang disebutkan di atas hanya sebagian kecil dari potensi yang disajikan, banyak potensi lain yang perlu terus didorong agar ekonomi kretaif dapat muncul secara kontinyu.  Komoditas lain yang dapat dikembangkan secara pasial di keempat kabupaten tersebut adalah tembakau, karet, kelapa sawit, industri gula aren, tebu, pisang, ikan air tawar, termasuk ikan endemik seperti Depik di Danau Laut Tawar, ikan Kerling di Lawe Alas dan Sungai Tripe, energi listrik dari tenaga geothermal, bahan tambang, dll.


Fondasi Percepatan Pembangunan Ekonomi

Saat ini keempat kabupaten tersebut relatif terhambat secara geografis.  Hambatan wilayah ini tidak mudah dan tidak murah untuk diselesaikan dengan hanya membangun jalan tembus, seperti yang diprogramkan Pemerintah Aceh saat ini.  Andaikan program ini berhasil, masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat tiba di keempat kabupaten tersebut. Oleh karena itu, pilihan infrastruktur konektivitas yang perlu diprioritaskan adalah jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi tidak menjadikan keterisolasian geografis wilayah sebagai kendala. Aliran dan manajemen informasi yang didukung oleh infrastruktur IT yang baik akan memudahkan investor untuk menentukan kegiatan investasi di wilayah-wilayah pedalaman ini tanpa harus melalui ketidaknyamanan akibat perjalanan yang panjang dan berliku.  Pilihan ini sekarang makin menjadi relevan dan mendapatkan momentum karena PT. Telkom baru saja melakukan ground breaking pembangunan jaringan Fiber Optic berkapasitas bandwith 1,6 terabyte sepanjang 515 kilometer yang melintasi kawasan tengah Aceh (Harian Serambi Indonesia, 29 Agustus 2013).  Jaringan ini tentunya membuat aliran data dan suara dari dan ke wilayah ini menjadi sangat cepat dan jernih dan menjadikan keempat kabupaten ini cyberly connected ke dunia global.  Tapi bagaimana aliran dan transportasi barang dan orang dari dan ke keempat wilayah tersebut?.

Sarana transportasi relatif baik di sepanjang Pantai Timur-Utara dan/atau Pantai Barat Selatan menuju ke Pelabuhan Ekspor atau ke pusat-pusat pasar di luar Aceh.  Sedangkan lintas tengah, paling tidak saat ini, belumlah terlalu memadai.  Oleh karena itu, pilihan produksi komoditas yang tidak butuh waktu harus segera sampai ke pasar menjadi keharusan.  Ini merupakan pertimbangan pemilihan komoditas unggulan.  Keempat Pemerintah kabupaten-kabupaten tersebut sebaiknya memilih komoditas yang bernilai tinggi sehingga rasio ongkos transportasi terhadap nilai jual komoditas tersebut kecil dan menyediakan margin keuntungan bagi masyarakat yang memproduksi komoditas tersebut.  Komoditas-komoditas yang disebutkan sebelumnya merupakan contoh komoditas endemik di keempat kabupaten tersebut yang bernilai tinggi. Ditambah ketersediaan energi yang murah membuat ongkos pertambahan nilai komoditas tersebut menjadi rendah.  Keuntungan komparatif ini perlu dikelola sehingga memberikan kesejahteraan bagi petani yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup petani dan generasi penerusnya.

Komitmen Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan peningkatan jalan dari dan ke empat kabupaten ini sudah sepantasnya didukung oleh semua pihak.  Ruas-ruas jalan yang sedang dan terus ditingkatkan tersebut adalah :
(1)    Celala (Aceh Tengah) – Beutung Ateuh – Jeuram (Nagan Raya).  Ruas jalan ini sedang dikerjakan sejak tahun 2014 lalu, dan mulai tahun 2016 ruas jalan ini telah disetujui menjadi jalan kewenangan Pemerintah Pusat,
(2)    Simpang Teritit – Pondok Baru – Samar Kilang (Bener Meriah) – Peunaron (Aceh Timur), mulai ditingkatkan sejak tahun lalu.  Walaupun ruas jalan ini belum tembus hingga ke Peunaron, tetapi terus akan dikerjakan samapai tuntas.  Sejak tahun lalu hingga tahun 2017, ruas jalan ini masih diutamakan peningkatan hingga Samar Kilang (Bener Meriah),
(3) Bandara Rembele (Bener Meriah) – Krueng Tuan – Simpang 4 KKA (Aceh Utara).  Peningkatan jalan eks jalan KKA ini relatif lebih maju dari ruas lainnya.  Ruas Bandara Rembele hingga batas Aceh Utara, mudah-mudahan selesai tahun 2015 ini, sedangkan dari Simpang 4 KK (Aceh Utara) hingga batas Bener Meriah diperkirakan selesai tahun 2016 atau paling lambat tahun 2017 nanti,
(4) Blangkejeren – Pining (Gayo Lues) – Lokop – Keude Peurlak (Aceh Timur), terus dikerjakan dengan dua paket pekerjaan sampai tuntas,
(5) Demikian juga halnya ruas Blangkejeren – Terangun (Gayo Lues) – Babahrot (Abdya).
(6) Muara Situlen (Aceh Tenggara) – Gelombang (Subulussalam).  Ruas jalan ini terkendala pengerjaanya karena sebagian masuk dalam wilayah Taman Nasional Gunung Leuser.

Sedangkan ruas jalan yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, Bireuen – Takengon – Ise-Ise – Blangkejeren – Kuta Cane – Batas Sumatera Utara, terus dikerjakan secara reguler, bahkan segmen ruas jalan Takengon – Ise-Ise – Blangkejeren saat ini sedang dikerjakan secara intensif agar dapat berfungsi baik dengan standar jalan nasional pada tahun 2017 nanti.


Darimana Sumber Dananya?

Alokasi anggaran dana otonomi khusus (OTSUS) yang relatif besar sebagai konsekuensi dari formulasi pembagian dana kepada kabupaten/kota yang masih mempunyai indikator pembangunan buruk seperti indeks pembangunan manusia (IPM), kemiskinan, luas wilayah, dan kemahalan biaya kontruksi.  Variabel rendahnya IPM, besarnya persentase kemiskinan, dan mahalnya biaya konstruksi merupakan masalah yang diakibatkan oleh hambatan geografis.  Seharusnya alokasi fiskal di kabupaten-kabupaten ini diarahkan untuk memantapkan fondasi dan kuda-kuda yang kuat agar dapat melompat sebagaimana disebutkan sebelumnya.  Lompatan ini dibutuhkan agar dapat melangkahi beberapa tahapan pembangunan secara lebih cepat dan tiba pada karakter masyarakat yang berbasis pengetahuan lebih awal dari kabupaten/kota lainnya sebagaimana visi  Aceh 2025.  Bukan tidak mungkin akan lahir produk-produk pengetahuan global dari rindangnya kopi Arabika di Aceh Tengah dan Bener Meriah atau rimbunnya pohon pinus dan lebatnya Sere Wangi di perbukitan Gayo Lues, luasnya hamparan Jagung di Aceh Tenggara, seperti lahirnya sistem operasi Linux dari kawasan pinus yang sejuk di Finlandia.

Berapa besar alokasi dana OTSUS untuk masing-masing kabupaten tersebut?.   Dana OTSUS Aceh sejak tahun 2008 sampai 2013 difomulasikan untuk kabupaten/kota sebesar 60% dan untuk Aceh sebesar 40%.  Tetapi sejak tahun 2014 dan seterusnya, formula ini telah menjadi 40% untuk kabupaten/kota dan 60% untuk Aceh.  Alokasi 40% untuk kabupaten/kota, saat ini dibagi atas 23 kabupaten/kota dengan kriteria IPM (30%), luas wilayah (30%), jumlah penduduk (30%) dan indeks kemahalan konstruksi (10%).  Berdasarkan formula dan kriteria tersebut, maka keempat kabupaten bagian tengah Aceh ini mendapat alokasi dana OTSUS per tahun sejak tahun 2008 hingga tahun 2007 nanti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan, total alokasi dana OTSUS sejak tahun 2008 hingga tahun 2027 untuk Aceh bagian tengah ini adalah sebesar Rp. 14.366.635.676.574 atau rata-rata per kabupaten sebesarRp  3.591.658.919.144.  Selanjutnya alokasi dana OTSUS masing-masing kabupaten di bagian tengah Aceh tersebut adalah sebagai berikut :

1.Kabupaten Bener Meriah; jumlah alokasi dana OTSUS sebesar Rp. 2.541.818.329.677. Mulai tahun 2008 hingga tahun 2014 telah diambil sebesar  Rp. 646.305.280.741 dan masih tersisa dari tahun 2015 hingga tahun 2027 sebesar Rp 1.895.513.048.936.

2.Kabupaten Aceh Tengah; jumlah alokasi dana OTSUS sebesar Rp. 3.551.814.979.514. Mulai tahun 2008 hingga tahun 2014 telah diambil sebesar  Rp. 922.255.821.555 dan masih tersisa dari tahun 2015 hingga tahun 2027 sebesar Rp 2.629.559.157.959.

3.Kabupaten Gayo Lues; jumlah alokasi dana OTSUS sebesar Rp. 4.529.427.476.073. Mulai tahun 2008 hingga tahun 2014 telah diambil sebesar  Rp. 1.145.568.388.670 dan masih tersisa dari tahun 2015 hingga tahun 2027 sebesar Rp 3.383.859.087.403.

4.Kabupaten Aceh Tenggara; jumlah alokasi dana OTSUS sebesar Rp. 3.743.574.891.311. Mulai tahun 2008 hingga tahun 2014 telah diambil sebesar  Rp. 925.645.046.307 dan masih tersisa dari tahun 2015 hingga tahun 2027 sebesar Rp 2.817.929.845.004.


Situs ini menggunakan cookies.